Dulu
sekali, saat aku masih mengenakan seragam putih biru. Aku memiliki seorang
teman lelaki yang tak pernah akur denganku. Dari wajahnya saja terlihat jelas
bahwa ia seorang anak mama. Bagi gadis yang selalu dituntut mandiri sepertiku,
dia terlihat sangat menggelikan. Saat itu dia tak berani melakukan banyak hal.
Saat ada yang memukulnya atau mengejeknya saja, wajahnya akan langsung merah
menahan tangis. Alhasil banyak yang menjulukinya cengeng.
Tapi
lain lagi saat ada perempuan yang mengejeknya atau mengganggunya. Ia tak
segan-segan untuk membalas dengan cara apapun. Aku tak tahu siapa saja yang
pernah menjadi korbannya, aku hanya tahu aku salah satunya. Sebenarnya aku tak
pernah mengejeknya, tidak berniat juga mengganggunya. Dia yang selalu mencari
masalah dengan ku terlebih dulu.
Mulai
dari rebutan tugas matematikaku, rebutan alat tulis, minta contekan, dan
berbagai hal sepele lainnya. Entah berapa kali pukulannya mendarat
dipunggungku. Entah berapa cubitan nyasar di tanganku. Dan entah berapa kali
juga tugas ku lecek karenanya. Tapi, aku tidak diciptakan menjadi orang yang
mengalah dengan mudah. Satu pukulan di punggungku, maka satu pukulan juga
dipunggungnya. Satu cubitan di tanganku satu cubitan juga ditangannya. Tugasku
lecek, tugasnya pun harus sama. Begitulah kami saat itu.
Mungkin
saat itu, aku merasa dia sangat menyebalkan, tapi aku tak pernah ingat bahwa
aku membencinya. Mungkin memang tak pernah. Aku bahkan tertawa saat menulis
cerita ini. Sampai suatu hari, saat aku membalas kenakalannya, aku melihat
dengan jelas mimik mukanya. Merah menahan marah dan air mata. Aku tak tahu
apakah dia selalu seperti itu saat aku membalas perbuatannya. Biasanya setelah
memukul atau mencubitnya aku segera balik badan dan kabur. Terkadang dia memang
mengejarku, tapi tak pernah sampai bisa menangkapku. Saat itu, pertama kalinya
aku melihat dia menahan tangis karena aku.
Aku
merasa bersalah, tapi sebal. Merasa sudah keterlaluan, tapi dia yang selalu
memulai. Aku tidak tahu harus menyalahkannya atau menyalahkan diriku sendiri.
Kemudian aku mencoba bersikap sedikit lunak terhadapnya. Mungkin dia juga melakukan
hal yang sama. Tanpa ada kata maaf ataupun ungkapan bersalah, dan tentunya
tanpa pernah diketahui pihak sekolah tindak kekerasan itu akhirnya berakhir.
Aku dan dia damai dengan sendirinya.
Bahkan
terkadang saat aku harus menulis sekian banyak kalimat di papan tulis, dia
menyalinnya di bukuku dan bukunya sendiri. Saat dia tidak bisa menjawab soal,
aku membantunya menjawab. Saat aku membutuhkan teman bercerita, dia ada untuk
mendengarkan, begitu juga sebaliknya. Masa lalu kami yang keras itu sudah tidak
ada lagi.
Dari
kisah kecil itu aku belajar, terkadang ada yang lebih penting dari sebuah kata
maaf. Yakni sikap bahwa kita benar-benar menyesal, sikap bahwa kita
memaafkannya, dan keinginan kita memperbaiki hubungan itu.
Sudah
lama aku tidak melihat temanku itu. Entah kenapa tiba-tiba saja ingin menulis
sesuatu tentangnya. Aku berdoa semoga Allah memudahkan segala urusannya
dimanapun dia berada. Aamiin. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar