Jumat, 14 Februari 2014

MASA LALU BERSAMA SI CENGENG


Dulu sekali, saat aku masih mengenakan seragam putih biru. Aku memiliki seorang teman lelaki yang tak pernah akur denganku. Dari wajahnya saja terlihat jelas bahwa ia seorang anak mama. Bagi gadis yang selalu dituntut mandiri sepertiku, dia terlihat sangat menggelikan. Saat itu dia tak berani melakukan banyak hal. Saat ada yang memukulnya atau mengejeknya saja, wajahnya akan langsung merah menahan tangis. Alhasil banyak yang menjulukinya cengeng.

Tapi lain lagi saat ada perempuan yang mengejeknya atau mengganggunya. Ia tak segan-segan untuk membalas dengan cara apapun. Aku tak tahu siapa saja yang pernah menjadi korbannya, aku hanya tahu aku salah satunya. Sebenarnya aku tak pernah mengejeknya, tidak berniat juga mengganggunya. Dia yang selalu mencari masalah dengan ku terlebih dulu.

Mulai dari rebutan tugas matematikaku, rebutan alat tulis, minta contekan, dan berbagai hal sepele lainnya. Entah berapa kali pukulannya mendarat dipunggungku. Entah berapa cubitan nyasar di tanganku. Dan entah berapa kali juga tugas ku lecek karenanya. Tapi, aku tidak diciptakan menjadi orang yang mengalah dengan mudah. Satu pukulan di punggungku, maka satu pukulan juga dipunggungnya. Satu cubitan di tanganku satu cubitan juga ditangannya. Tugasku lecek, tugasnya pun harus sama. Begitulah kami saat itu.

Mungkin saat itu, aku merasa dia sangat menyebalkan, tapi aku tak pernah ingat bahwa aku membencinya. Mungkin memang tak pernah. Aku bahkan tertawa saat menulis cerita ini. Sampai suatu hari, saat aku membalas kenakalannya, aku melihat dengan jelas mimik mukanya. Merah menahan marah dan air mata. Aku tak tahu apakah dia selalu seperti itu saat aku membalas perbuatannya. Biasanya setelah memukul atau mencubitnya aku segera balik badan dan kabur. Terkadang dia memang mengejarku, tapi tak pernah sampai bisa menangkapku. Saat itu, pertama kalinya aku melihat dia menahan tangis karena aku.

Aku merasa bersalah, tapi sebal. Merasa sudah keterlaluan, tapi dia yang selalu memulai. Aku tidak tahu harus menyalahkannya atau menyalahkan diriku sendiri. Kemudian aku mencoba bersikap sedikit lunak terhadapnya. Mungkin dia juga melakukan hal yang sama. Tanpa ada kata maaf ataupun ungkapan bersalah, dan tentunya tanpa pernah diketahui pihak sekolah tindak kekerasan itu akhirnya berakhir. Aku dan dia damai dengan sendirinya.

Bahkan terkadang saat aku harus menulis sekian banyak kalimat di papan tulis, dia menyalinnya di bukuku dan bukunya sendiri. Saat dia tidak bisa menjawab soal, aku membantunya menjawab. Saat aku membutuhkan teman bercerita, dia ada untuk mendengarkan, begitu juga sebaliknya. Masa lalu kami yang keras itu sudah tidak ada lagi.

Dari kisah kecil itu aku belajar, terkadang ada yang lebih penting dari sebuah kata maaf. Yakni sikap bahwa kita benar-benar menyesal, sikap bahwa kita memaafkannya, dan keinginan kita memperbaiki hubungan itu.

Sudah lama aku tidak melihat temanku itu. Entah kenapa tiba-tiba saja ingin menulis sesuatu tentangnya. Aku berdoa semoga Allah memudahkan segala urusannya dimanapun dia berada. Aamiin. J



Tidak ada komentar:

Posting Komentar